KONFLIK KLAS DAN GENDER DALAM POLITIK AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
1.A. LATAR BELAKANG
Menurut Soerjono Soekanto di dalam setiap masyarakat dimanapun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, diberbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidaklah sama. Sebagian pakar meyakini bahwa pelapisan masyarakat sesungguhnya mulai ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama, dalam masyarakat yang masih sederhana lapisan-lapisan masyarakat pada awalnya didasarkan pada perbedaan seks ( Gender ) umur atau bahkan kekuasaan. Max Weber, dia lebih menekankan mengenai lembaga sosial yang ada di agama itu sendiri, disini menurutnya terjadi kerjasama secara timbal balik diantara semua lembaga sosial, dan dalam kerjasama menunjukkan tentang betapa pentingnya lembaga agama dan pengaruhnya atas semua lembaga sosial lainnya.
Agama dan pelapisan sosial merupakan dua hal yang berbeda, namun tidak dipungkiri bahwa dalam kehidupan beragama terdapat bukti-bukti adanya Klas / Stratifikasi yang terjadi dalam masyarakat beragama tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
II.A KONFLIK KLAS
Dalam kehidupan beragama keristen pada masa kegelapan terjadi dominasi Gereja yang sangat kuat dimana gereja berkuasa atas apapun dengan mengatasnamakan kekuatan Tuhan. Pada akhirnya semua warga tunduk sampai pada suatu kasus dimana ada yang menentang kebijakan gereja ini, yaitu penentuan bahwa Bumi yang mengitari matahari atau Matahari yang mengitari bumi. Seorang pemikir bernama Galileo yang menentang pendapat itu dibakar hidup-hidup.
Sistem Kasta Pada Masyarakat Hindu: sistem ini yang paling terkenal dan paling kaku sehingga jika seseorang itu sudah berada pada kasta bawah sangat sulit atau bahkan tidak mungkin baginya untuk naik kasta. Adapun susunan kastanya adalah: Ksatria (raja-raja), Brahmana (agamawan), Waisya (Pedagang), Sudra (Pekerja kotor/Buruh). Wells menyebut Kasta-Kasta ini dengan berkata “setelah kedatangan bangsa Arya mesyarakat hindu telah terbagi kedalam kasta-kasta yang satu sama lain tidak saling mewakili, tidak berkeberatan, dan tidak bergaul dengan bebas.[1]
Stratifikasi pada Masyarakat Islam: Islam tidak mengenal stratifikasi sosial seperti dikatakan dalam alquran “bahwa setiap manusia dihadapanKu sama dan yang membedakannya adalah kadar ketaqwaannya saja”. Namun, dalam kehidupan masyarakat Islam ditemukan juga pelapisan-pelapisan sosial. Dalam stratifikasi sosial masyarakat muslim Jawa, terdapat sebuah model stratifikasi yang sangat populer, yakni model trikotomik cetusan Clifford Geertz. Model trikotomik Geertz menggolongkan masyarakat Mojokunto, Kediri yaitu santri, abangan dan priyayi, dimana:
Santri, berpusat di daerah perdagangan atau pasar. Golongan ini berusaha mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan unsur-unsur kepercayaan lainnya.
Abangan, berpusat di daerah pedesaan. Pengalaman keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan animisme.
Priyayi, berpusat di kantor pemerintah. Pengalaman agama mereka banyak dipengaruhi aspek aspek Hindu.
II.B AGAMA DAN SOSIOLOGI
Dalam kajian sosiologis agama diartikan sebagai gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan berbagai kewajiban, ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut agama, bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang kalah perang kepada pihak yang menang perang, ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya tidak bisa disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.
Berikut merupakan pendapat para tokoh mengenai agama yang otomatis apa yang mereka katakan tidak terlepas pada keyakinan mereka mengenai agamanya masing-masing:
1. Max Weber, dia lebih menekankan mengenai lembaga sosial yang ada di agama itu sendiri, disini menurutnya terjadi kerjasama secara timbal balik diantara semua lembaga sosial, dan dalam kerjasama menunjukkan tentang betapa pentingnya lembaga agama dan pengaruhnya atas semua lembaga sosial lainnya.
2. Cicero (abad 15 SM) dia adalah seorang pembuat hukum romawi, menurutnya agama adalah anutan yang dihubungkan antara manusia dengan tuhan
3. Emmanuel Kant, dalam bukunya yang berjudul agama dalam batas-batas akal mengatakan bahwa agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah tuhan.
4. Herbert Spencer, berpendapat bahwa factor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan yang tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu dan tempatnya.
Dari uraian tentang definisi agama di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ilmuan membatasi pengertian agama dalam bentuk yang hanya bisa diterapkan pada agama-agama yang berdasarkan wahyu dari langit, yaitu agama-agama tauhid yang didasarkan pada keyakinan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa.
– Stratifikasi Sosial dalam Agama
Hubungan antara tingkat keberagamaan dan kedudukan dalam masyarakat dan struktur sosial, dan antara sifat keyakinan keagamaan dan kedudukan kelas sosial, telah dibicarakan secara intensif dan diperdalam selama ratusan tahun. Agama dan pelapisan sosial merupakan dua hal yang berbeda, walaupun demikian, membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topik tetap akan mempunyai aspek-aspek positif dalam kajian akademis. Demokrasi sepertinya menjadi cita-cita seluruh bangsa. Ada beberapa elemen yang menentukan suasana demokrasi yaitu antara lain budaya yang di dalamnya termasuk agama, penilaian atas agama dalam kaitannya dengan proses demokrasi, mesti dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi salah menyimpulkan, demikian juga dengan kelas sosial, apakah agama bisa menjadi faktor penentu dalam bentuk kelas sosial dalam tatanan masyarakat yang mana sangat dipengaruhi oleh interpretasi manusia atas agama, memang kita tidak bisa memungkiri bahwa sekat-sekat sosial kerapkali menimbulkan masalah sosial.
Dan berikut merupakan penggambaran stratifikasi sosial dalam agama:
1. Zaman Kegelapan, Filsafat Abad Pertengahan
Zaman ini merupakan zaman paling buruk dalam sejarah filsafat, dimana kekuasaan gereja sangat besar bahkan melebihi kekuasaan raja atau pemimpin Negara pada saat itu, pada essensinya sejak masa dulu gereja memang tidak pernah ditempatkan dalam sebuah struktur sosial, dikarenakan karena gereja yaitu bentuk manifestasi dari agama Kristen protestan atau katolik yang menurut mereka tidak bisa dimasukkan pada struktur sosial dalam masyarakat karena fokusnya yaitu dalam ranah hubungan manusia dengan tuhan, tetapi apakah dengan tidak masuk ke dalam struktur sosial mereka ini posisi mereka menjadi tidak penting? justru posisi gereja pada hakekatnya berada tepat dibawah kekuasaan kerajaan karena kebanyakan para pastur merupakan penasehat kerajaan.
Tetapi yang terjadi pada zaman ini justru sebaliknya, gereja memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan segala apapun, siapapun, dan kapanpun itu, dengan menggunakan kekuatan tuhan sebagai pelaksana kekuasaan mereka, apapun yang dikeluarkan gereja pada saat itu tidak boleh dilanggar oleh satu orang pun karena itu adalah perintah dari tuhannya, begitu pula dengan filsafat dan pengetahuan, apa yang dikatakan oleh pihak gereja merupaka suatu kebenaran yang mutlak dan tidak boleh ditentang, posisi pastur pada saat itu tertinggi dalam struktur vertikal lapisan masyarakat.
Pada akhirnya semua warga tunduk sampai pada suatu kasus dimana ada yang menentang kebijakan gereja ini, yaitu penentuan bahwa Bumi yang mengitari matahari atau Matahari yang mengitari bumi, pada saat itu dari pihak gereja mengeluarkan ajaran bahwa Matahari mengitari bumi dengan Surga dan neraka yang berada diatas dan dibawahnya, karena yang menjadi acuan mereka yaitu hanya dengan melihat perputaran matahari dari pagi yang muncul di timur dan tenggelam di barat pada sore harinya.
Tetapi pendapat ini ditentang oleh seorang pemikir besar yang bernama Galileo, menurutnya Bumilah yang mengitari Matahari, toh pada essensinya itu merupakan suatu kebenaran tetapi pihak gereja tidak dapat menerima itu, dia dihukum dibakar hidup-hidup karena telah menentang gereja, hal inilah yang menyebabkan kemandegan dari para pemikir barat pada saat itu karena kekuasaan gereja yang begitu besar, dan bukan lain hal ini disebabkan semata-mata ketika suatu golongan memiliki hak yang istimewa yang tidak di dapatkan orang lain pada umumnya maka dia bisa bertindak apapun yang diingnkannya.
2. Sistem Kasta Pada Agama Hindu
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sistem ini yang paling terkenal dan paling kaku sehingga jika seseorang itu sudah berada pada kasta bawah sangat sulit sekali atau bahkan tidak mungkin baginya untuk naik kasta, asal mula kasta di agama hindu ini bermula di India sebagai hasil pertemuan bangsa Arya dengan bangsa Turan dan Bumiputera, “bangsa Arya adalah suatu bangsa yang mempunyai kecerdasan dan gerak laku hidup atas penduduk asli, mereka benar-benar percaya terhadap ketinggian bangsa mereka di atas bangsa-bangsa yang lainnya, kata “Arya” yang dinamakan kepada mereka itu berarti orang bangsawan.”
Menurut Prof. Atreya mahaguru universitas Benares di India yang berpendapat bahwa orang-orang hindu mengatur kehidupan sosial mereka dengan berdasarkan kasta-kasta yang mereka namakan Chatur Varn, peraturan ini pula dapat ditegakkan atas asas pemilihan kerja dan tidak ada hubungan dengan asas-asas bangsa yang sangat dibenci dan dialami oleh negeri India yang lahir dari pemerintahan asing yang menetap beberapa abad, tujuan peraturan kasta tidaklah semata-mata untuk memecahbelah masyarakat, tetapi justru menyatukannya atas asas pembagian kerja, karena dalam kalangan manusia ada sebagian yang gemar akan ilmu pengetahuan lalu mereka dibiarkan dengan ilmu pengetahuannya dan terus membentuk golongan Brahmana, bagian yang kedua kegemarannya adalah pemerintahan, kekuasaan dan peperangan mereka inilah yang membentuk golongan ksatria, golongan ketiga yaitu golongan yang gemar akan harta benda, kemudian membentuk golongan pedagang dan petani atau yang disebut dengan Waisya, bagian tidak layak apa-apa kecuali melakukan pekerjaan hina dan semata-mata menjadi budak dari mereka ini terbentuk golongan Sudra.
Wells menyebut Kasta-Kasta ini dengan berkata “setelah kedatangan bangsa Arya mesyarakat hindu telah terbagi kedalam kasta-kasta yang satu sama lain tidak saling mewakili, tidak berkeberatan, dan tidak bergaul dengan bebas. Kemudia pembagian kasta ini berjalan terus sepanjang sejarah”. Wells juga menyebutkan bahwa peraturan kasta-kasta mulai ada dan lahir ketika awal pencampuran yang membuka jalan bagi pembentukan suatu masyarakat yang dipadukan dari unsur-unsur yang berlainan ini. Jadi peraturan kasta-kasta adalah suatu jalan untuk memelihara kemurnian darah bangsawan yang dikhawatirkan bercampur dengan jenis-jenis bangsa yang lainnya.
Menurut beberapa pemikir yang berpendapat bahwa kasta-kasta ini dijadikan oleh tuhan sedemikian rupa maka jadilah pembagian ini kekal abadi dikarenakan ini semua merupakan perbuatan tuhan dan tidak ada jalan untuk menghapuskannya. Dengan latar belakang ini seseorang tidak boleh naik dari suatu kasta ke kasta lain yang lebih tinggi. Dan berikut penjelasan dari golongan kasta-kasta tersebut,
a. Golongan Brahmana
Golongan ini berkewajiban mempelajari kitab-kitab weda dan mengajarkannya pada kaumnya, juga memberkati pemberian-pemberian korban yang hanya diterima melalui mereka dan wajiblah seorang brahmana memelihara undang-undang umum dan agama. Apabila seorang brahmana lahir dia diletakkan dibarisan yang pertama sekali dalam barisan-barisan keduniaan, seorang brahmana menerima penghormatan dari semua tuhan adalah karena keturunannya. Hokum-hukumnya menjadi landasan hokum di alam ini dan kitab suci itulah yang memberinya keistimewaan ini, semua yang ada di alam ini adalah milik brahmana, karena seorang brahmana berhak atas segala apa yang terwujud. Seorang brahmana apabila berkehendak, dia berhak memiliki harta benda sudra yang menjadi hamba kepadanya dengan tidak dihukum oleh raja karena perbuatannya itu, hamba dan segala miliknya adalah kepunyaan tuannya. Seorang brahmana tidak dikotori oleh dosa sekalipun dia membunuh tiga golongan itu, raja tidak boleh mengenakan pajak atas seorang brahmana yang sedang mempelajari kitab suci, raja janganlah membunuh seorang brahmana sekaipun dia melakukan berbagai kesalahan besar dia hanya boleh diusir dari kerajannya.
b. Golongan Ksatria
Orang-orang yang telah memperkaya akal pikirannya dengan kitab-kitab Weda dan sebagainya, mereka dari golongan inilah yang layak menjadi pemimpin-pemimpin tentara, atau raja-raja atau hakim-hakim bagi sekalian manusia. Raja diangkat dari golongan ksatria, Raja janganlah direndahkan sekalipun dia masih kecil, seorang ksatria tidak boleh terlepas dari tugas ketentaraan. Seorang ksatria hidup sebagai seorang prajurit meskipun dimasa damai, raja harus selau menyediakan perlengkapan perang mereka, dan mereka harus selalu siap berperng bila sewaktu-waktu dipanggil raja.
c. Golongan waisya
Seorang waisya haruslah kawin dengan perempuan dari golongannya juga, haruslah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pekerjaannya, dan senantiasa memelihara binatang ternak, seorang waisya hendaklah mengetahui betul-betul metode dalam pertanian, dari penanaman sampai penjualannya.
d. Golongan Sudra
Seorang Sudra sedapat-dapatnya haruslah mematuhi perintah golongan Brahmana yang menjadi pemuka yang arif akan kitab-kitab suci dan terkenal dengan sifat-sifat yang mulia. Dengan kepatuhan ini diharapkan ia diberi kebahagiaan sesudah matinya dengan suatu penghidupan baru yang lebih tinggi lagi. Tidak patut seorang sudra mengumpulkan harta yang berlebihan sekalipun mereka mampu melakukan hal demikian, seorang sudra seandainya mengumpulkan harta maka ia telah menyakiti golongan brahmana karena tindakannya itu kotor, anak golongan rendah yang berniat untuk menyamakan diri dengan golongan yang lebih tinggi dari golongannya haruslah ditolak dan diberi tanda di bawah pangkal pahanya, tangannya hendaklah dipotong sekiranya dia mengangkat tangan atau tongkatnya ke atas orang yang lebih tinggi dari padanya, dan dipotong kakinya sekiranya dia menendang dengan kakinya itu, seandainya dia memanggil dengan menggunakan nama atau nama golongannya dengan tidak memperlihatkan rasa hormat maka dimasukkan kedalam mulutnya sebilah pisau panas bermata tiga yang panjangnya sepuluh inci, dan raja juga memerintahkan supaya dituangkan minyak panas kedalam mulut dan telinganya apabila menurut pendapat golongan brahmana dia tidak lagi melaksanakan pekerjaan untuk mereka dengan baik.
3. Stratifikasi Sosial dalam Islam
Apakah ada? Islam pada zaman Nabi masih menggunakan perbudakan dalam hal mengerjakan pekerjaan yang kasar dan berat, tetapi sistem kerjanya tidak seperti yang ditampakkan pada kasta Sudra yang ada di agama Hindu, budak-budak yang ada di Islam pun bisa di bebaskan dan dapat hidup normal pada sedia kala, budak-budak ini pada umumnya didapatkan pada saat berperang dan tentara lawan yang kalah dalam peperangan pada umumnya dijadikan sebagai budak, terus pertanyaannya apakah di agama Islam ada yang dinamakan dengan stratifikasi sosial? Jawabanya adalah firman ALLAH “Sesungguhnya yang paling mulia kedudukannya di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa diantara kalian.” dalam hal beribadahpun Islam tidak pernah membedakan antara si kaya dan si miskin, si Tua dan si Muda dan lain sebagainya, itu yang ada di dalam agama Islam, tetapi didalam masyarakat Islam stratifikasi sosial tetap ada demi keteraturan suatu wilayah tersebut untuk pembagian kerja menurut proporsi mereka masing-masing.
Hasil Penelitian Clifford Geertz Tentang Masyarakat Islam Jawa
Dalam stratifikasi sosial, terdapat sebuah model stratifikasi yang sangat populer, yakni model trikotomik cetusan Clifford Geertz. Model trikotomik Geertz menggolongkan masyarakat Mojokunto, Kediri yaitu santri, abangan dan priyayi, dimana:
Santri, berpusat di daerah perdagangan atau pasar. Golongan ini berusaha mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan unsur-unsur kepercayaan lainnya.
Abangan, berpusat di daerah pedesaan. Pengalaman keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan animisme.
Priyayi, berpusat di kantor pemerintah. Pengalaman agama mereka banyak dipengaruhi aspek-aspek Hindu.
Trikotomi Geertz memang sejak awal membingungkan karena mencampuradukkan aspek keberagaman dengan stratifikasi sosial dan dalam kenyataan tidak sesederhana itu karena masing-masing terjadi konversi dan perbauran.
Pada akhirnya muncul dugaan, Geertz ingin menciptakan konsepsi untuk memberikan substansi kepada teori kelas menengah. Golongan priyayi menempati posisi teratas, kaum santri di bagian tengah, dan golongan abangan berada di bagian bawah. [2]
Tulisan Geertz sejak awal banyak dikritik, antara lain:
1. Harsya Bachtiar
Menurutnya, ketiga varian Geertz tersebut tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama. Dalam kenyataannya, tidak selalu demikian karena ketiga varian ini adakalanya bercampur. Walaupun demikian, klasifikasi Geertz sangat membantu untuk melihat sifat dan watak masyarakat muslim Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Oleh karena penggolongan religio-sosial tersebut didasarkan pada pengalaman agama, maka yang digunakan biasanya konsep abangan dan santri, sementara priyayi dipandang berada di tempat yang lain.
Klasifikasi santri-abangan dilakukan berdasarkan pengalaman agama dan tampak secara horisontal. Sedangkan priyayi (secara sosial), penggolongannya adalah vertikal. Dengan demikian, menggabungkan ketiganya dalam satu klasifikasi adalah menyesatkan.
2. Heffner, seorang antropolog dari Universitas Boston Amerika Serikat
Heffner lebih menyukai istilah Javanism daripada abangan karena tidak semata-mata pada kepercayaan, tetapi juga institusi sosial.
3. Ruth McVey
Mengomentari konsep trikotomik Geertz bahwa, “Dalam kenyataan, pembagian tiga priyayi-santri-abangan didasarkan atas dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan. Dalam hal kebudayaan pemisahan utama terjadi antara ajaran Islam dan ‘agama Jawa’ yang dianut para priyayi-abangan yang memasukkan pikiran pra-Islam ke dalamnya serta mewakili kebudayaan desa dan keraton di Jawa pedalaman, dalam mempertahankan diri terhadap kekuasaan Islam yang telah melangkah maju dalam sejarah. Dilihat dari pendirian ini maka masyarakat Jawa terbagi menjadi dua — bukan tiga bagian kebudayaan. Dan sesungguhnya ini merupakan pembagian dua atas golongan santri dan abangan”.
Hingga kini, kedua golongan ini masih ada dan pengaruhnya begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa. Dalam perjalanan historisnya, keduanya merupakan unsur-unsur penting dalam proses perubahan sosial, politik, dan agama di Indonesia. Dalam keadaan demikian, santri dan abangan memiliki dampak yang berarti bagi kehidupan sosial, politik dan beragama di Indonesia. Tidaklah berlebihan bila Emerson mengatakan bahwa penggolongan santri-abangan merupakan favorit topik bagi para pengamat politik Indonesia.
Banyak lagi contoh-contoh kasus yang semisal di atas tetapi pada essensinya tetap sama agama sekalipun tidak pernah membeda-bedakan umatnya yang menjadikan sistem itu adalah manusia-manusia itu sendiri yang membawa kekuatan agama yang diyakini masyarakat secara eksklusif untuk melancarkan kepentingan segolongan orang untuk mempunyai kekuasaan dan wewenang serta hak istimewa yang tidak dimiliki oeh masyarakat yang lainnya.
Dalam teori stratifikasi konfliknya Randall Collins sangat tidak setuju dengan para penguasa yang menggunakan kekuatannya untuk keuntungan pribadinya yang mana seharusnya itu untuk kemaslahatan masyarakat, kekuasaan yang begitu besar menempatkan seseorang sebagai raja di muka bumi ini, padahal pada essensinya seperti yang kita kethui bersama kita sama-sama sebagai manusia yang dikatakan makhuk yang paling sempurna dan oleh karena itu pula kita memiliki kekurangan dan kelebihan di dalam diri kita masing-masing tidak menutup kemungkinan dia seorang raja atau seorang pengemis. [3]
Dilanjutkan dengan teori Otoritas milik Ralph Dahrendorf, dimana menurutnya otoritas merupakan sumber konflik dan perpecahan yang ada di dalam masyarkat, jika kekuasaan itu tidak pada tangan yang tepat, eksistensi seorang pemimpin yang memerintah dan seorang hamba yang diperintahnya akan menimbulkan suatu perasaan ketidakadilan dan kecemburuan social di hadapan mereka, intinya sebenarnya tidak ada yang dinamakan pelapisan sosial dalam agama manusialah sendirilah yang membuatnya dengan menggunakan kekuatan Tuhan untuk menundukkan masyarakat yang meyakini agamanya secara kuat di dalam hatinya.Selain konflik klas / strata social.
II.C KONFLIK GENDER
Gender juga merupakan topic yang tak pernah usai untuk dijadikan tema konflik berkepanjangan, dalam hal ini Penulis lebih menekankan pada konflik gender tentang kepemimpinan Perempuan dalam perspektif Islam yang sering kali menuai pro dan kontra dalam menyikapinya, padahal sejatinya antara laki laki dan perempuan sama sama mempunyai potensi dalam mensejahterakan bumi, terbukti dengan diturunkannya Adam dan Hawa ke muka bumi. keduanya saling bekerja sama dalam mengemban misi sebagai “KHOLIFAH FIL ARDL”
Pada masa Jahiliyyah laki-laki tampak sebagai manusia perkasa. Sebaliknya perempuan yang dipandang sebagai manusia yang lemah dan IQ nya kalah dibanding laki-laki. Sehingga dalam lintasan sejarah akan sering dijumpai penyiksaan pada perempuan, dan segala bentuk penghinaan lain pada perempuan. Perempuan dianggap tak lebih dari sampah yang bisa mengotori siapa pun yang berhubungan dengannya. Tak heran jika setiap bayi perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup[4]. Ini terjadi di jazirah arab sebelum diutusnya Nabi.
Tapi image lemah yang melekat pada perempuan sekarang sudah mulai terkikis. Kaum perempuan terus berjuang agar tidak dianggap sebagai kelas dua. Kini perempuan sudah tidak hanya berkutat di dapur, kasur, sumur. Perempuan sudah mulai banyak berperan dalam segala sektor kehidupan. Seperti dalam bidang hukum, politik, ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya.
Diantara persoalan yang berkaitan dengan perempuan, yang masih menjadi perbincangan dan perdebatan adalah kebolehan perempuan jadi pemimpin. Baik di tingkat nasional, provensi, kabupaten, kota, kecamatan, desa, ataupun di tingkat RT. Banyak yang tak setuju dengan tampilnya perempuan sebagai pemimpin, dan agama lah sebagai alasannya.
Ulama’ yang melarang perempuan jadi pemimpin mendasarkan pendapatnya pada hadits nabi[5]:
لَنْ يُفْلِح قَوْم وَلَّوْا أَمْرهمْ اِمْرَأَة
Artinya: “Tidak akan bahagia kaum yang menyerahkan urusannya pada wanita”[6]
Hadits ini merupakan respon nabi ketika mendengar bahwa Raja Persia Kisra Ibnu Barwiz meninggal dan diganti oleh anak perempuannya[7].
Namun hadits tersebut perlu dikaji lebih mendalam lagi. Apakah memang benar-benar menunjukkan ketidak bolehan perempuan jadi pemimpin?. Apalagi perempuan masa kini berbeda dengan saat datangnya hadits tersebut, juga ketika para ulama’ melarangnya jadi pemimpin.
Ada dua hal yang perlu dikaji dari hadits tersebut. Pertama, berkaitan dengan redaksi (teks) hadits tersebut. Berikut ini kajiannya:
1. لن يفلح
لن Merupakan huruf yang berfungsi untuk menafikan fi’il (perbuatan) di masa akan datang[8]. Semua Ulama’ sepakat akan hal ini. Dalam hadits tersebut yang dimaksud fi’il adalah lafad يفلح . Jika fungsi لن dikaitkan dengan hadits di atas, maka akan memberi kesimpulan bahwa “kaum yang menyerahkan urusannnya pada perempuan tidak akan pernah bahagia (sampai kapan pun, tanpa ada batas waktu)”.
Namun para ulama’ berbeda pendapat mengenai apakah istiqbalnya itu menunjukkan ta’bid (selamanya) atau ta’qit. Jika mengikuti ulama’ yang berpendapat ta’bid maka kesimpulannya sama dengan kesimpulan di atas. Bedahalnya jika mengikuti pendapat yang kedua, maka kesimpulannya “Pada suatu waktu kaum yang menyerahkan urusannnya pada perempuan akan bahagia juga”.
Di dalam al-Qur’an banyak لن yang tidak berfungsi ta’bid misalnya firman Allah berikut ini:
فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Dengan adanya lafad اليوم , menunjukkan bahwa لن memang tidak berfungsi ta’bid. Dan di dalam al-Qur’an masih banyak ayat lagi yang menunjukkan لن tidak ta’bid, seperti pada surah Taha ayat 91, surah Yusuf ayat 66, Ali Imran ayat 92 dan 24, al-Taubah ayat 51.
Jadi pada hadits tersebut, bisa dikatakan bahwa huruf لن tidak berfungsi ta’bid. Tapi kesimpulan ini masih menimbulkan pertanyaan, yaitu mengenai ta’qitnya. Kalau dalam ayat di atas sudah jelas ada kata اليوم sehingga tidak berfungsi ta’bid. Begitu juga dengan contoh lainnya yang di ta’qit menggunakan itstisna’ (حتى \ إلا).
Untuk menyelesaikan masalah ini kita bisa merujuk pada pendapat ulama’ yang melarang perempuan jadi pemimpin karena menganggap perempuan itu lemah daya pikirnya, serta pemikirannya terlalu sempit disebabkan tidak banyak tahu tentang persoalan masyarakat[9]. Dari alasan ulama’ ini bisa diambil kesimpulan mengenai ta’qitnya, yaitu: sampai perempuan mempunyai IQ tinggi dan banyak tahu pada persoalan masyarakat. Sehingga hadits tersebut tak berlaku lagi jika berkaitan dengan perempuan yang cerdas dan sangat tahu pada persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
1. قوم
قوم merupakan lafad nakirah. Dalam konsep ushul fiqh, lafad (kata) yang berbentuk nakirah termasuk lafad khaas (خاص). Namun karena lafad قوم ada dalam redaksi nafi, maka lafad قوم termasuk lafad ‘aam (عام)[10]. Lafad ‘aam adalah lafad yang mencakup pada setiap afrad tanpa ada batasan[11]. Jadi lafad قوم mencakup pada setiap kaum, baik yang berkaitan dengan munculnya hadist tersebut atau tidak, termasuk yang hidup sekarang ini.
1. وَلَّو
ولى berarti menjadikan seseorang sebagai wali (penguasa)[12]. Namun menurut riwayat Humaidi menggunakan redaksi وَلََِى dan lafad إمرأة menjadi fa’il[13]. Ada juga riwayat lain yang menyebutkan dengan redaksi مَلَّكَ yang artinya menjadikan seseorang menguasai[14]. Hakikatnya ketiga redaksi tersebut mempunyai arti sama, yaitu menjadikan seseorang sebagai penguasa.
Dengan melihat makna tersebut, sesungguhnya hadits di atas lebih cocok ketika diarahkan pada negara yang pemerintahannya berbentuk kerajaan atau monarki (pemerintahan oleh satu kepala), seperti di Persia ketika itu. Karena dalam sistem kerajaan, seorang raja mempunyai hak preogratif dalam segala bidang, yang tidak bisa ditentang oleh siapapun. Bedahalnya dengan negara demokrasi, dimana rakyat bisa mengawasi kepala negara dengan dibentuknya lembaga wakil rakyat. Dan para wakil rakyat itu bisa menurunkan kepala Negara dari jabatannya jika dianggap menyalahi undang-undang.
1. أمرهم
أمرهم Juga lafad ‘aam, karena أمر merupakan lafad mufrad yang dimudhafkan pada isim ma’rifat[15]. Berarti makna lafad أمر mencakup pada semua persoalan. Jika dikaitkan dengan hadits maka mencakupnya makna lafad أمر pada setiap persoalan sangat pas. Karena ini berkenaan dengan pemimpin Negara yang memang menjadi pengendali Negara. Setiap persoalan yang di sebuah Negara maka tak akan lepas dari peran seorang kepala negara dalam penyelesaiannya.
Redaksi ini juga lebih pas jika dikaitkan dengan Negara yang berbentuk kerajaan atau monarki. Karena walaupun ada masalah yang tak ditangani oleh kepala Negara, seorang kepala Negara masih mempunyai kuasa penuh atas masalah tersebut. Tentu beda dengan Negara demokrasi yang ada beberapa persoalan tidak menjadi wewenang kepala Negara, semisal pembuatan dan perubahan undang-undang.
1. إمرأة
إمرأة adalah lafad muthlaq, dan lafad mutlaq merupakan salah satu bentuk lafad khas. Lafad khaas bisa berupa nama seperti Muhammad, dan juga bisa berupa jenis[16]. Sedangkan إمرأة termasuk lafad khaas yang berupa jenis, tapi walaupun berupa jenis, tidak semua nau’ masuk pada lafad tersebut. Karena yang dipandang dalam lafad khaas yang jenis adalah hakikat atau mahiyah dari lafad, dan bukanlah afrad yang ada di dalamnya. Sehingga lafad إمرأة ini tidak bisa mencakup pada semua perempuan, tapi hanya tertentu pada perempuan yang dimaksud dalam hadits tersebut, yaitu anak perempuan Kisra yang didaulat sebagai pengganti ayahnya yang meninggal.
Dari beberapa ulasan di atas, ketidak bolehan perempuan sebagai pemimpin dengan mendasarkan pada hadits tersebut perlu dipertanyakan. Apalagi redaksi haditsnya bukan dalam bentuk nahi (larangan) tapi nafi. Sehingga bisa saja nabi hanya ingin memberitahukan bahwa anak perempuan Kisra tidak akan sukses dalam memimpin Persia.
Kedua, berkaitan dengan posisi perempuan saat munculnya hadits tersebut. Perempuan dalam pandangan masyarakat Persia sangat rendah. Ini bisa terlihat pada kepercayaan mereka yang menganggap bahwa perkawinan seorang laki-laki dengan ibunya, anaknya, atau saudaranya merupakan sebuah keutamaan[17]. Sehingga sangat pantas nabi mengucapkan “Tidak akan bahagia orang yang menyerahkan urusannya pada perempuan”. Mengingat pandangan masyarakat pada perempuan akan menyebabkan peran anak Kisra sebagai raja tidak akan sekuasa ayahnya.
Hal ini sangat jauh perbedaanya dengan kondisi di masa sekarang. Di mana perempuan sudah bisa bersaing dengan laki-laki. Semisal dalam dunia pendidikan, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, yaitu bisa mengenyam dunia pendidikan setinggi-tingginya. Hal ini berdampak pada kemampuan perempuan masa kini tidak bisa dianggap remeh. Sehingga terkadang wanita lebih unggul dari pada laki-laki serta tidak ada kepemimpinan muthlaq di ja,an sekarang seperti yang terjadi di masa lalu.
Dengan memandang kondisi ini, sesungguhnya tak ada alasan untuk melarang perempuan menjadi pemimpin. Apalagi yang menjadi tujuan utama adalah kesejahteraan rakyat. Untuk bisa mensejahterakan rakyat tentu tak harus laki-laki, tapi tergantung pada kemampuannya dalam memimpin. Dan kemampuan inilah yang bisa ada dalam diri siapa pun, baik laki-laki atau perempuan. Sehingga orang yang mempunyai kemampuan lah yang layak menjadi pemimpin.
BAB III
PENUTUP
Selama Dunia berputar, konflik tidak akan pernah pudar, demikian halnya dengan konflik klas dan gender yang dibahas oleh penulis. Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut: Pertama, dengan metode penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau dipadamkan. Kedua, dengan metode penghalusan (smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa kasih sayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang mengarah pada perdamaian. Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya, memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Dan sejatinya tidak ada agama manapun yang mengajarkan kepada umatnya agar menebar konflik, terutama Islam yang senantiasa mengajarkan kasih saying kepada sesama makhluq Tuhan. Islam tidak mengenal strata Sosial sebagaimana firman ALLAH “ ان اكرمكم عندالله اتقا كم “ dan dalam ajaran Islam kedudukan perempuan juga sangatlah mulia “ها نها الا لئيم ما اكرم النساء الا كريم و ما ا “ [ Prophet’s Words ] Wallahu A’lam Bisshowab…
REFERENCE