Download WordPress Themes, Happy Birthday Wishes
News
Home » Muslimah » Ikatan Cinta Bersulam Kafaa’ah*

Ikatan Cinta Bersulam Kafaa’ah*

Unsur-unsur Kafaa’ah

Menurut Jumhur ulama  unsur-unsur kafaa’ah adalah; agama nasab, kemerdekaan, dan pekerjaan. Hanafiyah, dan Hanabilah menambahkan harta benda (kekayaan) ke dalam unsur tersebut. Sementara Malikiyah mengatakan hanya ada dua unsur dalam kafaa’ah yakni agama dan selamat dari aib nikah yang mewajibkan khiyar. Selain itu Hanafiyah juga memasukkan Islam ke dalam unsur kafaa’ah.

a.      Kafaa’ah dalam Hal Keislaman

Adalah  mazhab Hanafy yang memasukkan Islam ke dalam unsur kafaa’ah. Maksud Islam di sini adalah Islamnya orang tua kedua mempelai. Bukan Islamnya suami istri karena nikahnya kedua orang yang berbeda agama tidaklah dibenarkan. Jadi, lelaki yang orang tuanya kafir tidak sepadan (kufu’) dengan perempuan yang orang tuanya beragama Islam. Namun keislaman orang tua menjadi unsur kafaa’ah hanya berlaku bagi orang non Arab. Adapun bagi orang Arab, keislaman orang tua bukanlah bagian dari unsur-unsur kafaa’ah. Jadi lelaki Arab yang orang tuanya kafir, tetap dinilai kufu’ dengan perempuan Arab yang orang tuanya muslim.

b.      Kafaa’ah dalam Hal Keberagamaan (Diyanah)

Ketaatan dalam beragama (religiusitas) adalah salah satu unsur dalam kesetaraan pasangan. Pendurhaka (fasiq) tidaklah kufu’ dengan seseorang yang taat beragama. Begitu pula, ketaatan orang tua juga menjadi “poin penilaian” kafaa’ah dalam hal diyanah ini. Anak orang pelaku maksiat (fasiq) tidaklah kufu’ dengan anak orang yang saleh.

Ketaatan pasangan bahkan menjadi tolok ukur yang direkomendasikan Nabi saw. dalam urusan mencari calon pendamping hidup. Dalam salah satu sabdanya beliau berpesan, “carilah pasangan yang memegang teguh agama, jika tidak, merugilah engkau”.

c.       Kafaa’ah dalam Hal Kemerdekaan

Yang dimaksud di sini adalah bukan hamba sahaya. Hamba sahaya tidaklah kufu’ dengan orang yang merdeka. Ketiga mazhab sepakat dengan hal ini. Berbeda dengan Imam Malik, bahwa kafaa’ah hanya berlaku dalam hal agama dan kondisi terkait ada-tidaknya aibun nikah. Selain itu Hanafiyah dan Syafi’iyah juga menilai bahwa seseorang yang orang tuanya menjadi hamba sahaya tidaklah setara (kufu’) dengan orang yang orang tuanya merdeka (hurr). Jadi hurriyah atau kemerdekaan dalam kafaa’ah, di samping menjadi status mempelai, juga harus disandang oleh orang tua mereka.

  1. d.      Kafaa’ah dalam Hal Nasab

 Dalam hal nasab, manusia terbagi menjadi dua kategori; Araby (bangsa Arab), dan Ajamy (bangsa Ajam). Di antara keduanya bangsa Arab-lah yang paling tinggi level kenasabannya. Sehingga tidaklah kufu’ lelaki Ajam dengan perempuan Arab. Di kalangan bangsa Arab sendiri kabilah Quraish yang menempati suku termulia. Dan di intern suku Quraish, Bani Hasyim dan Bani Muttholib-lah yang menduduki level tertinggi. Orang Arab dari suku selain Quraish tidaklah kufu’  dengan wanita Quraish. Pun demikian, lelaki dari bani yang lain dalam kabilah Quraish tidak dianggap kufu’ dengan perempuan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib. Dan di antara Bani Hasyim, dzurriyyah Sy Fathimah ra menduduki level tertinggi. Sehingga dzurriyyah Fathimah ra. hanya se-kufu’ dengan sesama di antara mereka.

Hal di atas didasarkan pada beberapa hadis yang menjelaskan keunggulan bangsa Arab atas suku-suku yang lain. Salah satunya adalah hadis sahih; bahwa Allah swt memilih bangsa Arab atas bangsa-bangsa yang lain dengan segenap keunggulan yang ada padanya. Adapun tentang keunggulan suku Quraish atas kabilah lainnya disebutkan dalam sebuah hadis bahwa, Allah memilih Kinanah dari bangsa Arab, dan dari Kinanah Allah memilih Quraish, dan dari Quraish Allah memilih Bani Hasyim. Dan memilih aku dari Bani Hasyim, (HR. Muslim). Sementara Bani Hasyim dan Bani Mutthalib memiliki level yang sama dalam hal kesetaraan. Ada hadis sahih yang mengatakan bahwa, نحن وبنو المطلب شيئ واحد.

Adapun bangsa-bangsa dan suku-suku di kalangan Ajamy (non Arab), maka tiada keunggulan antara satu atas yang lainnya. Semua dianggap sama dan setara dalam hal nasabiyyah. Sehingga lelaki dari bangsa China misalnya dinilai kufu’ dengan perempuan Melayu. Begitu pula kacong Madura kufu’ dengan gendhu’ Jawa, ataupun sebaliknya.

 e.       Kafaa’ah dalam Hal Profesi

Yang dimaksud profesi di sini adalah pekerjaan untuk menghasilkan rizki, atau pekerjaan yang dilakukan sebagai matapencaharian. Dengan demikian pekerjaan yang dilakukan hanya sebatas hoby, atau dengan dasar suka rela tanpa ada kompensasi berupa gaji misalnya, tidaklah termasuk dalam pengertian profesi atau pekerjaan dalam persoalan ini. Dan profesi yang dipandang di sini adalah pekerjaan pasangan dan orang tua mereka. Seseorang  yang memiliki pekerjaan yang remeh tidaklah kufu’ dengan orang yang pekerjaannya lebih tinggi darinya. Yang dimaksud dengan pekerjaan remeh adalah, pekerjaan yang dapat mengurangi kewibawaan dan citra seseorang. Mengenahi standar remeh dan tidaknya suatu pekerjaan dikembalikan kepada umumnya manusia menilai.

Terkait masalah ini para ulama mencontohkan, bahwa pria atau orang tua/ bapaknya yang berprofesi sebagai tukang sapu, tukang bekam atau pengembala, tidaklah setara dengan putri seorang penjahit, atau putri seorang pedagang. Begitu pula pria atau orang tuanya yang berprofesi sebagai penjahit atau pedagang tidaklah kufu’ dengan putri orang alim atau putri seorang hakim yang adil. Yang dimaksud orang alim di sini adalah orang yang ahli di bidang ilmu agama, seperti mufassir (ahli tafsir) muhaddits (ahli hadis) dan faqih (ahli fiqih). Dari sini, Imam Adzra’i menilai, bahwa lelaki bodoh tidaklah kufu’ dengan perempuan yang berilmu.

f.       Kafaa’ah dalam Hal Kekayaan

Hanafiyah dan Hanabilah saja yang memasukkan kekayaan ke dalam unsur kafaa’ah. Namun yang dimaksud di sini adalah kaya dalam kaitannya dengan maskawin dan nafkah. Itupun menurut sebagian ulama hanafiyah hanya menyangkut nafkah selama satu bulan. Jadi lelaki melarat yang tidak memiliki kemampuan sebagaimana tersebut,tidak kufu’ dengan perempuan yang memiliki kecukupan. Demikian menurut salah satu pandangan dalam pendapat ini. Menurut pandangan yang lain bahwa yang dimaksud dengan kekayaan adalah asset seseorang terkait harta kekayaan yang dimilikinya. Dengan demikian, anak fakir miskin tidaklah kufu’ dengan anak orang kaya.

Dalil pendapat ini adalah bahwa Fatimah binti Qais ketika meminta saran Nabi terkait lamaran Muawiyah, Nabi bersabda, bahwa Muawiyah adalah orang fakir yang tak punya harta. Di samping itu secara logika, orang-orang lebih merasa berbangga dengan kekayaan mereka,  jauh melebihi kebanggaannya akan garis keturunan (nasab).

Sementara Syafi’iyah yang tidak memasukkan kekayaan ke dalam unsur kafaa’ah menilai bahwa kekayaan bersifat tidak kekal, di samping itu ia tidaklah pantas untuk dibangga-banggakan, khususnya oleh mereka yang memegang teguh sifat muru’ah, serta mereka yang arif dan bijaksana.

g.      Kafaa’ah dalam Hal Selamat dari Aib Nikah

Aib di sini adalah aib yang menetapkan adanya khiyar dalam nikah seperti gila, penyakit judzam (lepra) dan barash (belang). Lelaki yang mempunyai aib ini, tidaklah kufu’ dengan perempuan yang selamat dari aib tersebut. Rumusan ini diamini oleh kedua mazhab besar, Maliky dan Syafi’iy. Namun menurut Malikiyah jika si perempuan memiliki aib yang sama dengan si lelaki maka dinilai kufu’. Hal ini berbeda dengan mazhab Syafi’iy yang berpendapat bahwa dua orang yang sama-sama memiliki aib nikah, tidak lantas dikatakan kufu’.  sehingga lelaki yang memiliki aib tidak lantas dianggap kufu’ dengan perempuan yang memiliki aib yang sama atau bahkan lebih parah. Karena bisa jadi yang satu tidak rela akan aib yang ada pada pasangannya. Karena seseorang itu merasa jijik -dari orang lain, terhadap apa yang ia tidak merasa jijik dari dirinya.

Adapun kekurangan fisik yang tidak tergolong aib nikah, maka hal tersebut bukanlah bagian dari kafaa’ah. Seperti ketampanan dan kecantikan, berat dan tinggi badan atau warna kulit. Maka lelaki berwajah pas-pasan dianggap kufu’ dengan perempuan berparas cantik jelita, begitu pula lelaki gendut juga dinilai setara dengan perempuan berbodi seksi, lelaki pendek kekar juga dikatakan sepadan dengan perempuan tinggi semampai.

Implikasi Kafaa’ah dalam Pernikahan

kafaa’ah dipertimbangkan dalam pernikahan bukan sebagai syarat keabsahannya secara mutlak. Karena ia bisa digugurkan. Andai kafaa’ah adalah syarat sah, tentu keberadaannya tidak dapat digugurkan. Kafaa’ah adalah hak perempuan dan walinya. Kedua pihak inilah yang dapat menggugurkan kafaa’ah. Andaikan si perempuan dan wali rela dengan lelaki yang tidak kufu’ maka pernikahannya sah. sebaliknya jika keduanya tidak rela, maka pernikahan perempuan dengan lelaki yang tidak kufu’ tersebut tidak sah.

Namun menurut pendapat yang lain bahwa pernikahan yang mengabaikan faktor kafaa’ah, sementara perempuan dan walinya tidak rela, hukumnya tetap sah, hanya saja bagi wali atau perempuan tersebut, diperkenankan untuk mengajukan fasakh/ pembatalan nikah. Dengan demikian, kafaa’ah menurut  pendapat ini merupakan syarat luzumun nikah, artinya syarat agar suatu pernikahan lestari dan tidak bisa diganggu gugat dengan mengajukan fasakh terhadapnya.

Perempuan Tolok Ukur dalam Kafaa’ah

Tidak salah bila dikatakan bahwa Islam adalah agama yang ramah pada perempuan. Salah satu buktinya adalah persoalan kafaa’ah ini. Sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan bahwa kafaa’ah adalah kesetaraan lelaki dengan perempuan pendamping hidupnya. Jadi yang dituntut untuk memiliki kesetaraan adalah pihak lelaki dengan pihak perempuan. Sehingga pandangan setara atau se-kufu’ adalah apabila si lelaki memiliki kesamaan dalam hal-hal yang telah disebutkan tadi dengan si perempuan. Jika dalam hal-hal yang menjadi unsur kafaa’ah tersebut lelaki berada di bawah perempuan, maka dikatakan tidak kufu’.

Sebaliknya jika perempuan yang berada di bawah lelaki, tidak dipersoalkan sebagai suatu hal yang tidak kufu’. Seolah-olah dalam persoalan ini perasaan perempuanlah yang dijaga, jangan sampai dia mendapatkan pasangan yang levelnya berada di bawahnya.

 Penutup

Mayoritas ulama mengakomodir kafaa’ah dalam ranah munakahah. Hal tersebut dimaksud bukan untuk menjustifikasi kastaisasi golongan manusia. Bukan  pula untuk mengkotak-kotakkan manusia ke dalam beberapa level dan strata sosial. Tidak, sekali lagi, tidak. Mengapa?, karena prinsip ajaran Islam adalah kesetaraan seluruh umat manusia di mata Tuhan. Yang membedakan derajat mereka adalah ketakwaan yang dikandung oleh masing-masing indifidu.

Kafaa’ah hanyalah sebagai langkah ikhtiar agar hubungan suami istri berjalan dengan baik, tanpa ada ketimpangan yang dapat mengganggu laju bahtera rumah tangga. Karena secara logika keserasian memang dibutuhkan untuk menciptakan mu’asyarah yang “bermartabat” tanpa ada rasa “canggung” atau malu. Dalam melangkahkan kaki menuju “kehidupan baru” dibutuhkan suatu kemantapan hati dan rasa percaya diri akan pasangan hidup. Khususnya kemantapan perempuan terhadap lelaki pendampingnya. Lelaki sebagai tambatan hati perempuan haruslah “kokoh”. Sebagai tempat berlabuhnya cinta wanita, ia haruslah berwibawa dan “bertaring”. Karena ia adalah pemimpin wanita. Sulit dinalar jika seorang pemimpin dalam segi level berada di bawah orang yang dipimpinnya. Setidaknya ini logika sederhana yang dipakai untuk menetapkan kesetaraan itu.

Wallohu A’lam bil Showab…

*Abiemouktav

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.